Dewasa ini, fenomena kepercayaan sesama manusia semakin luntur dan memudar. Sering kali juragan kurang percaya terhadap karyawannya, pimpinan yang mencurigai optimalisasi kerja stafnya yang belum optimal, ujian nasional yang kurang diyakini hasilnya karena sering ditengarai beredar kunci jawaban, bahkan dalam keluarga sering terjadi permusuhan akibat tindakan kekerasan, penggelapan, penipuan dalam penguasaan harta benda, dan adanya sejumlah tindakan kriminal , penggerebekan hotel esek-esek dan seterusnya sebagai suatu fenomena yang terjadi perlu menjadi kajian kita sebagai bentuk kepedulian sosial. Semua itu disebabkan karena mental kejujuran yang mulai menjauh dari anak manusia dewasa ini. Sulit sekali mencari orang yang cerdas namun berperilaku jujur. Sebagaimana Rasulullah SAW meletakkan sifat jujur menjadi sifat utama dalam dirinya dan juga diletakkan fondasi awal kepada para sahabat-sahabat beliau. Melahirkan generasi yang jujur, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Generasi yang berkarakter jujur atau dalam bahasa agama berakhlak karimah, membutuhkan waktu yang panjang dan secara kontinyu. Tanpa disadari, ternyata ibadah Ramadhan membentuk hamba-hamba yang jujur. Betapa tidak, walaupun dalam kesendirian tanpa siapa pun yang akan menyaksikan perbuatannya, seseorang yang telah terdidik berpuasa tidak akan mau melepaskan atau membatalkan puasanya.
Padahal peluang untuk itu sangatlah banyak, bayangkan saja tatkala azan Zuhur di tengah terik matahari berkumandang, seseorang berwudhu dengan suatu kebiasaan kumur-kumur sebelum melaksanakan rukun wudhu. Di saat tidak ada orang melakukan aktivitas tersebut, bisa saja orang yang berpuasa meminum sedikit air wudhu tanpa diketahui orang lain.Namun hal itu tidak mereka lakukan, karena mereka yakin bahwa Allah senantiasa menyaksikan perbuatannya. Adanya keyakinan terhadap zat Allah,SWT yang senantiasa mengawasi setiap perbuatan hambanya, menjadikan Ramadhan sebagai bulan pelatihan kejujuran. Meyakini Allah,SWT senantiasa melihat perbuatan kita, menjadikan aqidah hamba yang berpuasa makin kokoh. Tatkala ada keinginan untuk berbuat salah, urung dilakukan, karena keyakinan Allah,SWT melihat dan akan membalasi setiap perbuatan yang dilakukan. Pelatihan seperti inilah yang dicari-cari kebanyakan orang.
Di saat nilai-nilai kejujuran sudah menipis, ternyata “Diklat Ramadhan” adalah solusi pemecahan masalahnya. Selama sebulan penuh dalam setahun, orang berpuasa melatih kejujurannya terhadap Allah SWT. Setiap perbuatan yang dilakukan pada bulan Ramadhan akan berpengaruh kepada setiap hambanya. Perilaku baik akan dibalasi dengan pahala berlipat ganda, sementara perilaku buruk dapat mengurangi bahkan merusak ibadah puasanya.
Artinya, jika seorang karyawan atau bawahan maupun setiap individu mengamalkan pelatihan kejujuran hingga setelah Ramadhan, maka ia akan diprioritaskan menduduki posisi tertentu, karena kejujuran adalah modal yang utama dalam meraih kesuksesan. Lalu, apakah kita mampu mengaplikasikan semangat kejujuran yang dilatih selama Ramadhan untuk kehidupan setelah Ramadhan usai untuk menjadikan ibadah puasa sebagai amal yang langsung di balas oleh Allah,SWT. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan dalam hadist Rasulullah,SAW bersabda : “Semua amal anak Adam (pahalanya) baginya, kecuali puasa, puasa khusus untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya (Hadits riwayat Bukhari)”. Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda : “Dalam surga terdapat delapan pintu masuk, di antaranya ialah pintu yang diberi nama Rayyan, tak ada seorang pun yang boleh memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa” (Hadits riwayat Bukhari).
Ada tiga unsur yang melengkapi diri kita sehingga kita dapat hidup sebagai pribadi. Ketiga unsur itu menentukan hidup dan kehidupan kita lebih lanjut. Ketiganya adalah hati, otak (akal), dan jasmani. Otak mampu menciptakan konsep-konsep atau keinginan-keinginan untuk mencapai sesuatu. Otak juga dapat menciptakan hal-hal yang baru sama sekali, seperti produk-produk iptek (barang-barng elektronik canggih, bahkan bom/peralatan nuklir). Sedangkan hati menyaring apa yang patut atau tidak patut dikerjakan. Kalau hati seseorang baik (bersih) tentu dapat memberi arah apa yang seyogianya otak ciptakan. Tetapi kalau hatinya tidak bersih (hitam), maka dapat saja otak tersebut bekerja semaunya, menciptakan apa saja yang tidak dikehendakinya, tidak peduli apakah baik atau tidak, apakah akan membinasakan atau menyelamatkan umat manusia. Jelas orang yang seperti ini berbahaya, karena dapat ia lakukan hal-hal seperti dikemukakan tadi. Yang pokok, keinginannya tercapai.
Sementara peran jasmani adalah melaksanakan apa yang telah dikehendaki oleh otak dan hati. Ia bekerja, kalau sudah ada perintah dari otak dan hati. Jasmani tidak berpikir, ia hanya bekerja setelah menerima petunjuk. Yang pokok, jasmani perlu dirawat dan dilatih agar senantiasa berada dalam keadaan sehat sehingga dapat berfungsi. Bahkan unsur jasmani ini turut menentukan, karena meskipun otak dan hati telah melahirkan suatu gagasan yang cukup ideal, namun tidak akan dapat direalisasikan apabila jasmani tidak berdaya.Di sinilah betapa besar peran ibadah puasa dalam pembentukan pribadi. Perannya ialah berusaha menyehatkan ketiga unsur tadi sekaligus. Ia membersihkan hati melalui peningkatan ibadah (di samping berpuasa, juga shalat, termasuk shalat tarawih, dan berlatih diri menahan hawa nafsu yang cenderung ke perbuatan-perbuatan tercela) yang akhirnya berpengaruh pula pada cara berpikir. Orang yang beriman (bertakwa) dan yang bersih hatinya, biasanya pemikirannya pun jernih dan selalu berusaha menghindari perbuatan maksiat. Sedangkan orang yang berpuasa, akan terawat (terpelihara) kesehatannya, karena sesuai dengan keterangan para dokter, puasa dapat menyembuhkan, setidak-tidaknya mengurangi penyakit tekanan darah tinggi, jantung, lambung, dan lain-lain. Jadi, puasa sekaligus berusaha menyehatkan rohani, pemikiran dan jasmani sehingga gagasan-gagasan yang diciptakan oleh orang yang berpuasa selalu jernih dan selalu pula memperhatikan kepentingan umat (orang banyak). Oleh karena itu, puasa sangat bermanfaat bagi para pemimpin daerah dan bangsa ke depan dan melahirkan generasi yang jujur dan berkeperibadian yang berkhlak mulia.amin.
Di dalam Islam, puasa mempunyai tujuan di dalam rangka takwa terhadap Allah, sebagaimana dijelaskan pada akhir ayat yang berbunyi : “Agar kamu bertakwa”. Pengertian takwa ialah menjaga diri dari perbuatan yang menyebabkan kemurkaan Allah dan perbuatan yang bisa mendatangkan siksaan-Nya. Cara yang harus ditempuh untuk merealisasikan hal itu ialah dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga menjaga jiwa dari perbuatan dosa dan nafsu sahwat, serta membersihkan diri dari berbagai macam perilaku (akhlak) tercela. Seorang yang menjalankan puasa harus mengekang diri dari tuntutan biologis seperti makan, minum dan melakukan hubungan sex, demi menjalankan perintah Allah. Tentu saja seseorang yang harus mengekang dirinya akan merasakan berat, walau dilakukan demi menjalankan perintah Tuhan. Sepanjang bulan Ramadhan ia terus menahan diri dengan penuh kesabaran dan menyadari bahwa Allah selalu mengawasinya. Seandainya rasa takut terhadap larangan Allah dan meninggalkan puasa tidak ada pada dirinya, maka ia takkan tahan melakukan puasa. Tentu saja dengan membiasakan diri dalam hal ini, akan tertanam dalam jiwanya rasa ikhlas dalam menjalankan perintah Allah, dan rasa malu jika melanggar larangan-larangan-Nya.
Puasa juga dapat menempa iman seseorang sehingga kuat laksana baja dalam menghadapi hawa nafsu dan kebiasaan-kebiasaan yang membahayakan. Puasa dapat mendidik jiwa untuk bertakwa kepada Allah dan taat melaksanakan perintah-perintah-Nya. Selain itu, puasa dapat melindungi diri dari kemauan hawa nafsu melakukan hal-hal yang diharamkan oleh agama. Itulah hakikat tujuan puasa; dan buah yang akan dipetik oleh pelakunya seperti sabda Rasulullah,SAW : “Puasa adalah benteng (dari perbuatan maksiat), apabila salah seorang di antara kamu melakukan puasa, maka janganlah berbicara kotor dan janganlah berlaku seperti orang bodoh. Jika ada yang mencari atau mengajak bertengkar, maka katakanlah : “Saya sedang puasa, saya sedang puasa (Hadits riwayat Bukhari)”. Rasulullah,SAW juga pernah bersabda :“Barangsiapa tidak mau meninggalkan perkataan bohong dan melakukan perbuatan tercela, maka Allah tidak membutuhkan lagi puasanya (Hadits riwayat Bukhari)”. Sabda Nabi SAW tadi memberikan penjelasan kepada kita, bahwa yang dimaksud dengan puasa tidak sekedar menahan lapar dan dahaga. Bahkan lebih dari itu, ia harus mengekang nafsu syahwat dan memadamkan api kemarahan serta menuduhkan nafsu amarahnya untuk taat kepada Allah. Apabila syarat-syarat yang telah kami sebutkan tadi tidak terpenuhi pada diri seseorang yang melakukan puasa, maka Allah tidak akan mempedulikan lagi puasanya. Puasa adalah ibadah yang dapat menanamkan rasa ikhlas, dan merupakan amanat antara khaliq dan makhluknya. Di samping itu, puasa adalah rahasia yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah ,SWT. Oleh karenanya, pahala puasa amatlah agung.semoga ibadah puasa diterima oleh Allah,SWT.amin