Pelarangan ekspor dimulai sejak Megawati Soekarno Putri memimpin Indonesia sebagai presiden, dan berlanjut pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 sampai 2014. Pelarangan didasarkan pada fakta bahwa negara lain akan di untungkan.
Tidak terkecuali masyarakat NTB pasalnya, kebijakan ini justru akan menggangu keberlanjutan ekosistem laut. Provinsi yang mengandalkan sektor pariwisata sebagai salah satu penopang ekonomi masyarakat, apalagi dengan kehadiran KEK Mandalika di anggap sebagai sepirit geliat pariwisata di NTB, apabila ekspor ini dipaksakan akan berdampak kepada pariwisata.
Kebijakan ekspor pasir laut pemerintah Provinsi NTB tidak akan melakukan ekspor sedimentasi pasir laut, karena aturannya kita sudah ikat dalam RT/RW tidak ada ruang untuk pengambilan pasir laut, terang Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Kadislutkan) Provinsi NTB, Muslim, S.T.,M.Si.,
Menanggapi ekspor sedimentasi pasir laut Anggota DPR RI dapil NTB, H. Abdul Hadi, SE.,MM mendukung langkah pemerintah provinsi untuk tidak melakukan ekspor sedimentasi pasir laut.
"Kami khawatir kebijakan ini justru dapat merugikan masyarakat NTB, sektor pariwisata yang menjadi andalan akan berdampak terutama biota laut dipulau-pulau kecil" ujarnya.
Selain mengancam lingkungan hidup, H. Abdul Hadi, SE.,MM menerangkan kalau ada dampak sosial dari pada penurunan hasil tangkapan ikan dan kesejahteraan nelayan. Kemudian, ada juga risiko penurunan kualitas lingkungan yang mempengaruhi mata pencarian masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya laut. Penambangan pasir laut juga berpotensi memperparah dampak krisis iklim.
Harapan kami terhadap pemerintahan Prabowo nantinya khusus ntb sebagai daerah yang mengandalkan sektor pariwisata terutama pulau pulau kecil untuk tidak memberikan izin perusahaan beroperasi mengambil sedimentasi di wilayah NTB, karena akan berdampak signifikan terhadap erosi pantai, kerusakan ekosistem laut, penurunan kualitas air dan banyak lagi dampak- dampak lainnya.ram